Berbicara mengenai alam sama halnya berbicara mengenai kehidupan. Ya, kehidupan kita memang sangat erat kaitannya dengan alam sekitar. Kita bisa memasak, memperoleh bahan makanan, membuat tempat tinggal yang nyaman serta aktivitas lainnya semua bersumber dari alam.
Kita tengah dihadapkan pada permasalahan iklim yang ekstrim. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya kesalahan dalam memanfaatkan lingkungan. Yang paling nyata terlihat adalah sumber energi yang kita gunakan sehari – hari. Sumber energi yang kita gunakan saat ini masih didominasi oleh minyak bumi. Masalahnya, sumber daya alam yang kian menipis memicu banyaknya tindakan merusak yang dilakukan oleh produsen. Akibatnya, banyak pencemaran dan kerusakan lingkungan karena kebutuhan yang semakin meningkat. Oleh karena itu perlu adanya bahan bakar alternatif untuk mencegah hal tersebut. Salah satu bahan bakar alternatif yang sudah banyak digunakan saat ini ialah bahan bakar nabati atau biofuel.
Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel. Bahan bakar nabati atau biofuel merupakan biomassa yang materinya bersumber dari tumbuhan dan hewan. Tetapi biofuel ini lebih condong kepada tumbuhan contohnya minyak zaitun, minyak sawit dll.
Biofuel terbagi menjadi tiga jenis, yakni bioetanol, biodiesel, dan biogas. Bioetanol adalah alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, singkong, ubi, buah-buahan, hingga limbah sayuran. Biodiesel adalah bahan bakar yang terbuat dari minyak kedelai, minyak rapeseed (sejenis bunga), minyak buah jarak, hingga minyak bunga matahari. Yang terakhir adalah Biogas yang merupakan bahan bakar yang berasal dari hasil fermentasi sampah tumbuhan atau kotoran (manusia atau hewan).
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) di Sulawesi Barat
Tumbuh di tanah sulawesi adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Meskipun terbilang provinsi baru, Sulawesi Barat memiliki bahan bakar nabati yang cukup besar yaitu kelapa sawit. Sulbar merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Kawasan Indonesia Timur. Bagi yang belum mengetahui, Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati paling produktif. Tanaman ini menghasilkan produktivitas tertinggi per luas lahan dan membutuhkan lebih sedikit pestisida serta pupuk. Faktor ini menjadikan kelapa sawit sebagai bahan baku paling ekonomis untuk bahan bakar nabati.
Menurut data dari dinas perkebunan Sulbar, hingga tahun 2018 jumlah perusahaan kelapa sawit mencapai 17 perusahaan dengan luasan lahan perkebunan yaitu 79 ribu hektar. Hal tersebut membuat kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan di Sulbar selain kokoa yang memberikan banyak kontribusi dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Akses lapangan kerja terbuka lebar bagi masyarakat sekitar sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhannya masing – masing. Sejauh ini, perkebunan kelapa sawit terdapat di beberapa kecamatan, yakni Tommo, Tobadak, Budong-Budong, Topoyo, dan Karossa.
Pada tahun 2020, pemerintah memberlakukan Mandat B30 (30% persen minyak sawit, 70% solar) dalam rangka mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan impor bahan bakar. Langkah ini mendorong naiknya permintaan terhadap bahan baku seperti minyak sawit mentah.
Kelapa Sawit dan Segala Pro Kontranya
Selain manfaat, Kelapa sawit terkhusus di Sulbar memiliki banyak pro dan kontra. Warga yang tinggal disekitar pabrik kelapa sawit mengeluhkan limbahnya yang kotor dan bau. Belum lagi pencemarannya disekitaran sungai menyebabkan masyarakat sulit untuk mendapatkan hasil laut yang banyak mati akibat limbah kelapa sawit tersebut. Selain itu, perluasan lahan kelapa sawit disinyalir menjadi alasan deforestasi hutan yang ada di wilayah sekitar.
“Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,”
Pernyataan diatas dikemukakan oleh Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan.
Selain itu, Dalam
sustainable development goals (SDGs) yang
dikeluarkan oleh PBB, terdapat poin ke 12 yang mengarah kepada tanggung jawab
produksi dan konsumsi berkelanjutan. Tujuan dari poin tersebut adalah
mengantisipasi sumber energi yang semakin menipis serta mengurangi krisis
iklim akibat kerusakan alam yang berlebihan.
Hal tersebut telah dikembangkan oleh salah satu produsen minyak sawit yaitu GAR. GAR mengajak para produsen minyak sawit untuk melaksanakan aktivitas operasional mereka sesuai dengan GAR Environmental and Social Policy (GSEP) atau Kebijakan Sosial dan Lingkungan GAR (KSLG). Kebijakan tersebut menggabungkan kebijakan Konservasi Hutan, Pelibatan Sosial dan Masyarakat serta Peningkatan Hasil produksi.
Berbagai upaya diatas sangat membantu para produsen di Sulawesi Barat untuk praktik produksi yang lebih berkelanjutan bagi perkebunan sawit. Kebijakan tersebut akan membantu memenuhi tujuan SDG12 dalam meningkatkan keuntungan kesejahteraan dari kegiatan ekonomi dengan mengurangi penggunaan sumber daya, deforestasi, degradasi, dan polusi di sepanjang siklus hidup, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kesimpulan
Bahan bakar nabati memainkan peran penting sebagai sumber energi pengganti bahan bakar fosil pada sektor pengguna akhir (industri, transportasi, dan bangunan). Kolaborasi antara pemerintah, pihak produksi dan masyarakat terkhusus di Sulawesi Barat dalam melaksanakan berbagai kebijakan sangat diperlukan agar pemanfaatan kelapa sawit bisa tetap berjalan tanpa adanya kerusakan alam yang merugikan warga sekitar.
Melalui tulisan ini, saya harap para produsen bahan bakar nabati dapat terus memproduksi dengan mempertimbangkan kebijakan yang telah diberikan pemerintah dan juga secara global oleh PBB demi menjaga lingkungan dari berbagai kerusakan. Mari sedikit demi sedikit mencoba bertransformasi dari bahan bakar fosil menuju bahan bakar nabati sebagai sumber energi berkelanjutan di masa depan.
Referensi:
https://madaniberkelanjutan.id/2021/07/29/konsistensi-kebijakan-pemerintah-dalam-pengurangan-deforestasi-dan-degradasi-hutan-gambut-dan-mangrove-kunci-pencapaian-komitmen-iklim-indonesia
https://madaniberkelanjutan.id/2021/10/05/apa-itu-biofuel-bahan-bakar-nabati
https://www.smart-tbk.com/apakah-bahan-bakar-nabati-definisi-serta-pro-dan-kontra/
https://www.goldenagri.com.sg/sustainability/
https://dpmptsp.sulbarprov.go.id/home/produksi-sawit-sulawesi-barat-terbesar-di-kawasan-indonesia-timur/
Komentar
Posting Komentar